Belasan desa di Sulawesi Selatan menemukan kembali metode pertanian tradisional yang meningkatkan kualitas pangan dan keuangan mereka. Melalui sekolah lapang pesisir yang diadakan Blue Forests, penduduk desa belajar untuk membuat pupuk organik dan budidaya sayur organik. Blue Forests juga mengadakan sekolah lapang untuk budidaya udang organik, karena budidaya udang konvensional adalah ancaman terbesar ekosistem pesisir termasuk hutan mangrove.
Tambak udang yang biasanya menggusur mangrove membiakkan udang yang menjadi santapan golongan menengah ke atas, biasanya terletak di daerah terpencil, dimana komunitas lokal hanya mendapat sedikit keuntungan darinya. Saat tambak udang konvensional tidak lagi berproduksi, biasanya setelah 3-5 tahun produksi intensif, pekerja lokal di area tersebut mendapati rawa bekas tambak terbengkalai bahkan beracun. Di tahun 1970-an, Sulawesi Selatan memiliki lebih dari 200.000 hektar hutan mangrove. Pada tahun 1980-an, 90 persen dari hutan mangrove sudah hancur, beralih fungsi ke tambak untuk budidaya ikan atau udang.
“Jika penduduk desa memiliki cara untuk menumbuhkan pangan sehat sekaligus menghidupi keluarganya, mereka akan memiliki menu makanan yang lebih sehat tanpa harus menghancurkan mangrove,” ucap Ratna Fadilah, direktur Blue Forests. Saya berbincang dengan Ratna saat makan malam di restoran lokal dengan menu andalan ikan bakar. Anak lelakinya yang menggemaskan, berusia 2 tahun, sedang menikmati cumi segar, kedua tangan dan mukanya nampak terlumuri tinta hitam. Lalu jari-jari kecilnya yang lengket mencongkel bagian favoritnya, mata ikan.
Pupuk organik yang petani pelajari dari sekolah lapang bersumber dari resep tradisional berupa kotoran sapi, daun pisang, kulit gabah, dan sisa buangan dapur yang organik. Semua bahan tersebut sangat berlimpah di daerah setempat dan menghemat pengeluaran petani untuk membeli pupuk kimia. Pupuk organik menutrisi budidaya tanaman organik pada pekarangan rumah maupun kebun milik kelompok. Pupuk organik yang berlebih dapat dijual.
Seorang perempuan bernama Nursiah di Desa Lawallu, berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari Makassar, berdiri di depan belasan kantong pupuk organik yang diproduksi, digunakan, dan dijual oleh kelompoknya. Nursiah menjadi pemandu di sekolah lapang setelah mempelajari budidaya sayur, produksi pupuk, dan budidaya padi secara organik. Ia berkata 4 anggota keluarganya sekarang menjadi lebih sehat seiring sayur organiknya tumbuh subur dan dia tidak lagi harus membeli produk mahal dari pasar. Terlebih, ia dapat menjual sayur dan pupuk tersebut.
Sitti Rhama, penduduk Desa Pittusungu yang telah berpartisipasi dalam sekolah lapang budidaya padi dan sayur organik, dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya sekaligus menjual produk organik yang berlebih ke supermarket di Kota Makassar dan pasar-pasar tradisional. Ia mendapat harga yang lebih bagus di supermarket, bahkan setelah dikurangi biaya pengemasan dan transportasi. Ia berencana untuk mengembangkan perkebunan sayurnya, setelah menerima telepon dari supermarket lain di Makassar yang menginginkan produk organik darinya.
Perempuan-perempuan Desa Laikang adalah alumni sekolah lapang lain yang mengajarkan mereka untuk memilah, memetik, memotong, mencampur, dan mengemas daun kali kali untuk dipasarkan sebagai teh herbal. Kali kali (Acanthus Ilicifolius atau Jeruju) adalah salah satu tumbuhan dari semak-semak dan pepohonan yang tumbuh subur pada perairan payau hutan mangrove. Perempuan-perempuan tersebut berharap pasar teh herbal dapat berkembang. Hingga kini, teh herbal masih dianggap sebagai minuman berkhasiat untuk orang sakit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang menganggap rempah sebagai obat, sebagai penyembuh dibandingkan sebagai suplemen penjaga kesehatan.
Mereka telah mengajukan ke pemerintah setempat agar teh kali-kali diangkat sebagai oleh-oleh produk pertanian resmi dari daerah mereka, serta dipasarkan ke wisatawan. Di bumi bagian ini, dimana oleh-oleh makanan khas daerah adalah buah tangan yang wajib dibawa pulang, pengakuan pemerintah untuk teh kali-kali sangat berarti bagi pemasaran mereka.
Di saat laki-laki desa menangkap ikan atau bertani rumput laut untuk dijual, usaha teh kali kali adalah kesempatan penghidupan baru khusus bagi perempuan. Mereka telah membentuk kelompok yang disebut WATI (Wanita Aktif Terampil dan Inovatif). Umur dan jenjang pendidikan mereka sangat beragam dalam kelompok tersebut, dari tidak berpendidikan formal hingga lulusan universitas. Pembagian kerja juga beragam, seperti administrasi, promosi dan penjualan, pemotongan duri, pemilahan daun, dan pengemasan.
Di saat saya menemui para perempuan di Laikang, seorang perempuan berusia 45 tahun dengan baju terusan biru longgar sepanjang lutut dengan motif bunga tropis merah muda, berterus terang ia merasa senang dengan banyaknya aktivitas produktif, menjangkau lebih dari sekedar pekerjaan domestik yang telah menjadi kewajiban perempuan dalam keluarganya secara turun temurun. Walaupun tidak mengenyam pendidikan formal, ia merasa bangga dengan kemampuan produktifnya.
Perempuan-perempuan yang terlibat di WATI mengatakan peran gender telah bergeser di rumah mereka sejak perempuan lebih aktif secara ekonomi. Laki-laki lebih sering mengambil minumannya sendiri, dan beberapa bahkan memasak. Sekolah lapang terlihat mempunyai berbagai dampak kuat pada apa yang terjadi di dapur, sejak penduduk desa setempat menemukan kembali kelimpahan sumber daya alam yang dekat dengan rumah mereka.
Penulis: Melinda Chickering