Blue Forests mempunyai pendekatan yang spesifik dan istimewa yang kami gunakan dalam aktivitas kami sehari – hari. Pendekatan ini membantu kami untuk lebih dekat dalam mencapai visi kami. Pendekatan ini memiliki enam poin utama, antara lain:

Kajian/Penelitian sosial, ekonomi dan ekologis di Daerah Aliran Sungai dan pesisir.

Rehabilitasi dan konservasi lahan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk memelihara dan memperbaiki lingkungan, khususnya Daerah Aliran Sungai dan pesisir.

Pendidikan lingkungan hidup untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan dengan Daerah Aliran Sungai dan pesisir.

Pengembangan mata pencaharian untuk meningkatkan taraf hidup sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar.

Pengembangan pusat pembelajaran dan informasi bagi masyarakat dan pihak terkait yang berkepentingan dengan Daerah Aliran Sungai dan pesisir.

Scaling Up pengetahuan dan praktik cerdas dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pesisir.

Riset Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Sistem Sosial-Ekonomi-Ekologis (SEES) — adalah sebuah sistem dimana masyarakat, bisnis, mata pencaharian, serta ekosistem mangrove terintegrasi satu sama lain. . Dengan melihat sistem dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi dapat berdampak terhadap mengecilnya resiko diremehkannya opsi pengelolaan. Parameter dalam sistem SEES bersifat saling membutuhkan satu sama lain, dengan mekanisme feedback aktif antara satu sama lain, konsep ini menekankan perspektif ‘manusia-di-alam’ atau ‘humans-in-nature’.

Kapasitas adaptif/Kemampuan beradaptasi – adalah kapasitas untuk beradaptasi dan membentuk perubahan. Dalam sistem mangrove, salah satu kunci dalam beradaptasi adalah keanekaragaman hayati. Hutan mangrove yang penuh dengan keanekaragaman spesies pohon akan mampu menempati substrat baru yang tersedia dengan tingkat kesuksesan lebih tinggi dibandingkan dengan pada tempat yang bersifat homogen. Pada saat permukaan laut pasang dan adanya faktor perubahan iklim, kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap perubahan lanskap pesisir laut boleh jadi memiliki peluang yang lebih besar dari sebelumnya.

Dalam sistem sosial-ekologis, kemampuan beradaptasi setara dengan kapasitas seorang manusia untuk bertahan. Sekali lagi, keragaman, bahkan mungkin redundansi merupakan sifat yang penting. Jika anggota masyarakat, baik kaya atau pun miskin, disertai dengan parapihak lainnya peduli akan sistem mangrove, hal ini akan menyulitkan bagi suatu individu untuk membuat perubahan, misalnya investor yang ingin mengalihfungsikan suatu area untuk pembangunan.

Rehabilitasi

Hutan mangrove di seluruh dunia dapat memperrbaikan sendiri selama beberapa dekade dengan syarat; 

  • Sistem hidrologi mereka tidak terganggu
  • Propagul spesies utama tersedia untuk mencapai suksesi sekunder alami.

Jika salah satu atau kedua kondisi ini tidak terpenuhi, intervensi manusia mungkin saja diperlukan. Hal ini dikenal sebagai rehabilitasi mangrove.

Karena hutan mangrove dapat pulih tanpa penanaman, kita harus terlebih dahulu mempertimbangkan untuk mengatasi gangguan hidrologis seperti banjir alami dan air pasang sebelum mempertimbangkan untuk menanam mangrove. Sayangnya, sebagian besar proyek rehabilitasi mangrove di seluruh dunia berupaya untuk menanam mangrove dengan terburu-buru, membesarkan bibit mangrove di pembibitan dan menanam di dataran berlumpur sebelum melakukan penilaian faktor gangguan. Telah dilaporkan bahwa 90-99% upaya penanaman mangrove gagal merehabilitasi hutan mangrove.

Untuk memperbaiki praktik yang buruk dan tidak perlu, Lewis III dan Marshall (1997) mengembangkan lima langkah berikut agar restorasi mangrove sukses;

  1. Memahami autekologi (ekologi spesies individu) dari semua spesies mangrove asli di lokasi rehabilitasi; khususnya pola reproduksi, distribusi propagul (buah mangrove, biji dan embrio), dan keberhasilan pembentukan bibit.
  2. Memahami pola hidrologi normal yang mengontrol distribusi dan keberhasilan pembentukan dan pertumbuhan spesies mangrove yang ditargetkan.
  3. Lakukan kajian modifikasi lingkungan mangrove asli yang saat ini mencegah suksesi sekunder alami.
  4. Rancang program rehabilitasi untuk memulihkan saluran hidrologi yang sesuai dan, jika memungkinkan, memanfaatkan perekrutan bibit mangrove secara alami untuk dasar tanaman.
  5. Hanya gunakan propagul yang sebenarnya untuk penanaman, bibit yang dikumpulkan, atau bibit yang dibudidayakan setelah menentukan (melalui langkah 1-4) bahwa perekrutan alami tidak akan memberikan jumlah bibit yang berhasil dibentuk, tingkat stabilisasi, atau tingkat pertumbuhan anakan yang ditetapkan sebagai tujuan untuk proyek restorasi.

Lima langkah ini meliputi proses penilaian biofisik, perencanaan dan implementasi dari apa yang telah dikenal di kalangan praktisi sebagai restorasi atau rehabilitasi mangrove secara ekologis (EMR).

Penting untuk diketahui bahwa sebagian besar upaya rehabilitasi mangrove gagal karena faktor sosial. Dengan kata lain, kita tidak benar-benar ingin mengembalikan mangrove ke tempatnya semula, biasanya disebabkan adanya persaingan penggunaan lahan, atau privatisasi, keuntungan ekonomi individu. Lebih banyak perhatian perlu diberikan untuk menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi sebelum rehabilitasi mangrove dapat berhasil.

Pendidikan Lingkungan Hidup

Anda tidak pernah benar-benar memahami suatu masalah atau membantu memecahkannya jika anda tidak terlibat langsung ke dalam masalah tersebut. Lalu, anda akan mulai mengerti masalah tersebut, mengidentifikasi aktor dan peran yang terlibat di dalamnya, hingga akhirnya mulai menyadari bagaimana cara untuk mengubahnya.

Paulo Freire - Educator & Philosopher

Kerja – kerja kami menggabungkan berbagai aspek kerja lapangan yang berfokus pada kesehatan dan kegunaan dari ekosistem mangrove dengan pendekatan pemecahan masalah dalam masyarakat yang mengacu pada langkah di atas. Model ini didasarkan pada penelitian tentang bagaimana orang-orang mengatur ide-ide mereka (pemetaan kognitif), bagaimanan orang-orang memecahkan masalah, dan bagaimana pendidik dapat menggunakan informasi ini untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang lebih relevan dan bermakna. Keberhasilan tertinggi diukur dari perubahan nilai-nilai yang terjadi pada target kelompok, dampak peningkatan kesehatan ekosistem mangrove, dan dampak peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir secara tidak langsung.

Langkah yang diambil secara efektif telah dipengaruhi oleh para pendidik lingkungan hidup yang mencari cara untuk mengedukasi dan memberdayakan masyarakat terhadap lingkungannya sendiri, dan ketertarikan para peneliti pendidikan terhadap strategi pemecahan masalah dalam konteks yang mengedukasi. Seorang pendidik, John Dewey, adalah pelopor dalam metode pemikiran reflektif dan meyakini bahwa sebuah pemikiran tidak bisa dipisahkan dari tindakan (Dewey, 1963). Beliau berpikir bahwa sekolah harus melibatkan para muridnya dalam dunia nyata untuk membuat pendidikan menjadi lebih bermakna.

Pengembangan Mata Pencaharian

Resilience thinking digunakan dalam mendorong kehidupan di masyarakat. Blue Forests menyadari bahwa livelihood harus didasarkan pada potensi, daya dukung dan kemampuan mengadaptasi perubahan. Juga memastikan bahwa keseimbangan, kesetaraan dan keadilan bisa terpenuhi. Blue Forests meyakini bahwa dengan beragamnya penghidupan dan pilihan mata pencaharian di komunitas bisa mendorong sistem lebih resilience. 

Prinsip ini yang menggerakkan  pengembangan livelihood di tingkat tapak didekati melalui riset aksi partisipatif. Bentuknya berupa metode belajar melalui Sekolah Lapang Pesisir.

Blue Forests menjalankan program Sekolah Lapang Pesisir dan Sekolah Bisnis Peisisir, untuk mengembangkan mata pencaharian yang berkelanjutan, Sekolah Lapang Pesisir didasari oleh filosofi Sekolah Lapang Tani yang diarahkan untuk mengembangkan pola pikir yang kritis dalam praktik mata pencaharian saat ini. Sampai saat ini terdapat 12 jenis Sekolah Lapang Pesisir yang telah berjalan dengan peningkatan pengelolaan komoditas pesisir yakni:  

  1. Sekolah Lapang Petambak
  2. Beras Toleran Air Asin
  3. Sayuran Bio Intensif
  4. Rumput Laut Carageenan
  5. Bambu pesisir.
  6. Peningkatan pembuatan arang
  7. Silviculture mangrove
  8. Rehabilitasi mangrove
  9. Hasil hutan mangrove non-kayu
  10. Penggemukan kepiting bakau
  11. Produksi kompos pesisir
  12. Sorghum

Sekolah Bisnis Pesisir adalah program baru dari Blue Forests; dimana alumni Sekolah Lapang Pesisir mengembangkan keterampilan bisnis dan kewirausahaan mereka melalui serangkaian kegiatan, yaitu; Analisis Pasar, Jaminan Kualitas, Pengembangan Rencana Bisnis, Pengembangan Produk, Pengemasan, Pemasaran, Pembukuan dan Akses Terhadap Dukungan Eksternal. 

Blue Forests bekerja sama dengan Charles Darwin University untuk memantau dan mengevaluasi dampak dari program mata pencaharian ini menggunakan kerangka kerja mata Pencaharian Berkelanjutan, Matriks Kesejahteraan dan indeks dari Women’s Empowerment in Agriculture Index (WEAI).

Pengembangan Pusat Pembelajaran dan Informasi

Proses dialog dan diskusi antar komunitas sangat penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Dengan sering bertemu dan bertukar pikiran, masyarakat dapat saling belajar. Juga dapat berbagi ide dan gagasan; keresahan dan kekhawatiran; serta keinginan dan harapan. Pondasi penting untuk membangun visi dan tujuan bersama. Biasanya hal Ini adalah langkah awal dalam bergerak dan bekerja bersama mencapai tujuan.

Blue Forests memfasilitasi proses pembangunan pusat pembelajaran dan informasi di sejumlah wilayah dampingan. Fasilitas ini sangat berguna untuk memfokuskan upaya konservasi, rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat di desa. Pusat pembelajaran dan informasi dapat digunakan untuk menyelenggarakan program pendidikan lingkungan hidup, Sekolah Lapang, lokakarya tentang pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat, sustainable livelihood improvement, program kesehatan masyarakat, long-term scientific and participatory action research; serta kegiatan relevan lainnya.

SCALING UP

Kerangka kerja advokasi Blue Forests adalah mendorong kerjasama dan kolaborasi semua pelaku sistem untuk pengelolaan DAS dan pesisir berkelanjutan. Mendorong peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktif. Bekerja aktif mempengaruhi, menginspirasi dan mengajak semua komponen untuk bergerak bersama. Blue Forests memadukan pendekatan bottom up dan top down. Belajar bersama komunitas untuk menguatkan kapasitas dan pikiran kritis. Menggeserkan pola teknokratik para pemangku kepentingan lainnya agar bersedia menjemput aspirasi dari komunitas. Mempertemukan mereka di tengah agar terjalin sinergi dan kerjasama dalam ruang kolaborasi yang setara.   

Blue Forests mengolah informasi dan pengetahuan dari proses belajar bersama komunitas. Merefleksikannya pada cakrawala yang lebih luas dan pengetahuan global. Selanjutnya digunakan kembali untukpenyelesaian masalah di tingkat komunitas. Pengetahuan dan praktik cerdas lahir dari proses lokal ko global ko lokal. Sehingga diharapkan menginspirasi, mudah direplikasi dan diadaptasi pada kondisi lokal yang sesuai

Scroll to Top