Pesisir Papua merupakan rumah bagi ekosistem mangrove terluas di Indonesia. Salah satu lokasi mangrove yang masih alami di Papua adalah Kampung Yepem di Kabupaten Asmat, Papua Selatan. Secara geografis wilayah Kampung Yepem terletak di Distrik Agats, dengan karakteristik wilayah meliputi daerah pesisir, hutan mangrove dan hutan rawa. Pemukimannya berada di tepi muara Kali Jomboth yang menghadap ke arah Laut Arafura.
Masyarakat kampung Yepem merupakan masyarakat adat yang masuk dalam sub-suku Kaye-Yepem. Sehari-hari mereka mengandalkan sumber daya alam dari hutan dan pesisir yang masih lestari sebagai mata pencaharian. Profesi utama masyarakat Kampung Yepem berasal dari bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Di pesisir yang dekat dengan pemukiman masyarakat Kampung Yepem, terdapat lahan yang tersedimentasi. Lahan ini dimanfaatkan masyarakat untuk bercocok tanam berbagai komoditas sayuran dan buah-buahan. Potensi hasil perkebunan lainnya berupa tanaman pohon kelapa juga menjadi sumber penghidupan mereka. Sementara itu, dari dalam hutan, masyarakat memanfaatkan sagu dan berbagai jenis hewan buruan yang juga banyak peminatnya di pasaran.
Pada kawasan perairan yang dekat dengan hutan mangrove di pesisir Kampung Yepem, masyarakat memanfaatkan potensi perikanan seperti ikan dan udang, baik untuk kebutuhan konsumsi harian maupun untuk dipasarkan. Penghidupan dari perairan ini menjadi salah satu penopang perekonomian masyarakat di Kampung Yepem. Musim udang dan ikan biasanya terjadi pada saat setelah air besar atau masyarakat menyebutnya konda, yaitu kondisi air laut pasang dan surut secara perlahan. Kondisi air ini terjadi di akhir April hingga Juni, dan pada akhir September hingga November.
Potret Mama Aprilia dengan hasil tangkapan udangnya
Mama-mama sedang memindahkan hasil jaring udangnya
Hasil tangkapan ikan Kurau yang telah disortir
Hasil tangkapan udang dan ikan yang melimpah (15-20 kg/orang tangkap) biasanya diolah oleh masyarakat sebagai konsumsi lauk-pauk harian dan dijual langsung ke pasar Agats. Adapun jika hasil tangkapan tidak terjual, terkadang ikan dan udang membusuk dan akhirnya dibuang begitu saja. Belum ada aktivitas pengawetan hasil tangkapan karena masih terbatasnya sumber daya listrik di Kampung Yepem. Selain itu jarak Kampung Yepem ke pasar di Agats yang cukup jauh kurang lebih 45 menit menggunakan long-boat bermesin 15 PK. Sedangkan jika menjadi penumpang umum dengan bawaan hasil laut dan kebun, masyarakat harus membayar biaya transportasi sebesar Rp. 50.000 untuk pulang dan pergi.
Melihat fenomena terbuangnya bahan pangan (food waste) tersebut, kemudian muncul inisiatif dari masyarakat untuk mengolah hasil perikanan menjadi produk turunan dengan daya tahan yang lebih lama. Blue Forests lalu mengajak masyarakat untuk berkolaborasi untuk mewujudkan inisiatif tersebut. Melalui serangkaian diskusi dengan kelompok perempuan atau mama-mama, pada Oktober 2023 dilaksanakan Pelatihan Kelompok Usaha terkait praktik pengolahan udang dan ikan. Pada pelatihan yang didominasi oleh mama-mama Asmat Kampung Yepem digunakan metode pendekatan Participatory Action Research (PAR) yakni peserta diajak untuk mengidentifikasi potensi sumber daya yang dapat diolah beserta lokasi dan waktu pengambilannya. Pada praktiknya, masyarakat bersama-sama melakukan pengambilan udang dan ikan yang banyak terdapat di kawasan sekitar hutan mangrove. Jenis udang ini kebanyakan adalah udang merah, masyarakat biasa menyebutnya ondak. Sedangkan untuk jenis ikan yakni ikan Kurau (Eleutheronema tetradactylum). Jenis ini memang banyak ditemukan di kawasan mangrove sebab habitatnya yang cocok dan tersedia banyak pakan.
Selanjutnya dari hasil tangkapan tersebut, dilakukan proses pengeringan udang dan ikan. Peserta diajarkan proses pengeringan secara bertahap, mulai dari perendaman dan pencucian udang, pembersihan ikan, pemindahan udang ke dalam dandang untuk direbus serta pengeringan udang dan ikan yang dilakukan selama sekitar empat hari. Setelah itu peserta juga diajak untuk melakukan proses pengemasan dengan teknik yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesan higienis dan menarik pada produk perikanan awet yang diproduksi.
Pemindahan udang ke dalam dandang untuk direbus
Pemindahan udang ke tempat penjemuran untuk dikeringkan
Proses penggaraman ikan bersama kelompok usaha
Proses pelatihan ini, mama-mama dan peserta lainnya tidak hanya mengembangkan keterampilan praktis dalam pengolahan hasil perikanan, tetapi juga membangun interaksi melalui komunikasi satu sama lain. Kerja sama yang terjalin di antara mereka menciptakan lingkungan yang positif. Mereka saling menyampaikan pengalaman dan pengetahuan untuk memperkaya cara praktek pengolahan.
Hasil udang kering yang telah dikemas
Ikan asin yang sudang kering dan siap untuk dijual
“Ternyata cara mengolah ikan dan udang sangat mudah. Kita bisa buat lagi besok kalau musim ikan dan udang seperti ini, supaya bisa tahan lama terus kita juga tra perlu langsung ke pasar lagi untuk menjual”, ujar mama Sarlota.
Selain itu ada harapan dari peserta untuk lebih meragamkan komoditas perikanan yang akan diolah. Salah seorang dari mereka, yaitu Mama Paulina mengatakan, “untuk praktik ini kita bisa juga coba jenis tangkapan ikan lain untuk kita awetkan terus jual. Lalu selain dijual, ikan asin dan udang kering ini bisa disimpan untuk lauk-pauk makanan apabila tidak memungkinkan untuk pergi menangkap ikan dan udang saat cuaca sedang buruk”. Pernyataan tersebut diamini oleh mama-mama yang lain.
Pelatihan pengolahan hasil perikanan ini memberikan pengalaman baru yang berharga bagi masyarakat Kampung Yepem. Mereka bisa memahami cara memaksimalkan potensi sumber daya alam mereka dan menghindari terbuangnya potensi pangan. Peserta merasa kegiatan ini memberikan manfaat untuk mereka dalam membuka peluang mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan untuk meningkatkan penghasilan mereka.