Desa Batu Ampar adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, yang dikenal memiliki potensi hutan mangrove seluas 110.000,63 ha (Peta Mangrove Nasional, 2023). Kawasan ekosistem mangrove ini tidak hanya menjadi ekosistem penting bagi keberlanjutan lingkungan, tetapi juga menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hutan ini memainkan peran penting dalam menopang kehidupan masyarakat setempat, khususnya pada sektor perikanan, yang menjadi salah satu sumber utama penghidupan. Perairan di sekitar Desa Batu Ampar menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan, yang tidak hanya mendukung aktivitas penangkapan ikan, tetapi juga memberikan manfaat ekologi yang signifikan.
Selain menjadi habitat ikan, perairan di Desa Batu Ampar juga menjadi habitat dari satwa langka dan dilindungi, yaitu pesut atau Irrawaddy Dolphin (Orcaella brevirostris). Pesut ini merupakan salah satu spesies yang berada dalam status terancam punah di Indonesia. Sekitar 10 hingga 15 tahun yang lalu, keberadaan pesut di kawasan ini masih cukup umum terlihat. Bahkan hewan tersebut sering ditemukan berenang di perairan dekat pemukiman masyarakat setempat. Namun, kini keberadaan pesut di wilayah ini menjadi semakin jarang terlihat.
Penurunan populasi dan semakin sulitnya menemukan pesut di kawasan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pencemaran air di sekitar pemukiman masyarakat. Pencemaran ini berasal dari berbagai sumber, seperti limbah rumah tangga, sampah domestik, dan bahan-bahan lain yang mencemari perairan. Selain itu, berkurangnya ketersediaan pakan alami di habitat pesut juga menjadi penyebab utama. Akibatnya, pesut harus bermigrasi ke wilayah yang lebih jauh untuk mencari makanan, sehingga keberadaannya di perairan Desa Batu Ampar menjadi semakin jarang. Fenomena ini mencerminkan pentingnya upaya konservasi hutan mangrove dan lingkungan perairan untuk melindungi habitat alami pesut serta menjaga keseimbangan ekosistem di daerah tersebut.
Gambar 1. Pemukiman masyarakat dan perairan Desa Batu Ampar – Achmad/Blue Forests
Meskipun saat ini keberadaan pesut jarang terlihat, hewan ini masih dapat ditemukan di kawasan hutan mangrove Desa Batu Ampar. Hal ini menunjukkan bahwa koridor jelajah pesut masih mencakup area di sekitar hutan mangrove tersebut, meskipun populasinya telah menurun dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Penemuan pesut di wilayah ini memiliki kesamaan dengan keberadaan pesut Mahakam yang berada di Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan oleh adanya jalur perairan dari Sungai Mahakam yang terhubung hingga ke kawasan perairan Kecamatan Batu Ampar, menciptakan hubungan ekologis yang memungkinkan pesut untuk bermigrasi dan mencari habitat yang cocok.
Hutan mangrove yang luas di Desa Batu Ampar tidak hanya berfungsi sebagai ekosistem penyangga, tetapi juga menjadi habitat penting bagi berbagai spesies kunci, termasuk bekantan (Nasalis larvatus) dan pesut (Orcaella brevirostris). Hutan mangrove ini menyediakan lingkungan yang mendukung kehidupan kedua spesies tersebut, baik dari segi perlindungan maupun ketersediaan sumber daya alami seperti makanan.
Pesut sendiri merupakan mamalia laut yang memiliki persebaran luas di wilayah Indo-Pasifik tropis dan subtropis. Habitatnya meliputi berbagai negara, termasuk Bangladesh, Myanmar (Burma), Thailand, Kamboja (Kampuchea), Laos, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Indonesia. Persebaran geografis ini menunjukkan kemampuan adaptasi pesut terhadap berbagai kondisi perairan, baik di sungai besar maupun kawasan estuari seperti hutan mangrove. Namun, keberadaan spesies ini sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem dan kualitas lingkungan perairan, sehingga hutan mangrove Desa Batu Ampar memiliki peran vital dalam mendukung kelestarian satwa langka ini.
Gambar 2. Persebaran Pesut, IUCN 2024
Pesut atau Irrawaddy Dolphin (Orcaella brevirostris) adalah salah satu jenis mamalia air yang hidup secara berkelompok dan memiliki ciri-ciri fisik yang khas. Panjang tubuh pesut berkisar antara 1,3 meter hingga 2,7 meter, menjadikannya berukuran sedang dibandingkan dengan mamalia laut lainnya. Sebagai hewan karnivora, pesut memakan berbagai jenis makanan, seperti telur ikan, cumi-cumi, moluska dan organisme laut lainnya, yang menjadi sumber nutrisinya di habitat perairan.
Pesut memiliki warna tubuh yang seragam, yaitu kelabu hingga biru tua, dengan bagian bawah tubuh lebih pucat. Tidak seperti kebanyakan lumba-lumba lainnya, pesut tidak memiliki moncong, dan bentuk kepalanya ditandai dengan dahi yang tinggi dan membulat. Sirip punggungnya relatif kecil dan terletak di tengah punggung, tanpa pola tubuh yang mencolok. Keunikan morfologi ini membedakannya dari lumba-lumba lainnya, menjadikannya mudah dikenali oleh para peneliti dan masyarakat yang peduli terhadap konservasi satwa air.
Dari segi konservasi, status pesut sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan daftar merah yang dirilis oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), pesut masuk dalam kategori Endangered (EN) atau terancam punah, yang berarti populasinya terus menurun dan menghadapi risiko kepunahan dalam waktu dekat jika tidak ada upaya perlindungan yang signifikan. Selain itu, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) menetapkan pesut dalam Appendix I, yang menegaskan bahwa spesies ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apa pun.
Di tingkat nasional, perlindungan pesut juga telah diatur melalui Permen LHK No. 106 tahun 2018, yang memuat daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Regulasi ini menegaskan bahwa pesut (Orcaella brevirostris) termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi secara hukum, sehingga segala bentuk eksploitasi terhadap hewan ini dilarang.
Mengingat statusnya yang sangat rentan, upaya perlindungan Pesut harus menjadi prioritas, terutama melalui pelestarian habitat alaminya. Hutan mangrove, seperti yang terdapat di Desa Batu Ampar, memiliki peran vital dalam mendukung kehidupan pesut dengan menyediakan lingkungan yang aman serta sumber makanan yang memadai. Langkah-langkah konservasi yang serius, seperti pemulihan ekosistem, pengendalian pencemaran air, dan peningkatan kesadaran masyarakat, sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup spesies ini di alam liar dan mencegah kepunahannya.
Gambar 3. Pesut (Orcaella brevirostris) – Achmad/Blue Forests
Penemuan pesut oleh Tim Patroli dan Monitoring menjadi momen yang penting dan menarik perhatian dalam rangkaian kegiatan konservasi di kawasan tersebut. Penemuan ini terjadi pada Rabu, 11 Desember 2024, saat tim yang terdiri dari nelayan sedang melakukan pemantauan rutin di sekitar lokasi sungai yang menjadi area uji coba tabungan alam kepiting bakau (Temporary Closure/TC). Program TC ini bertujuan untuk melindungi populasi kepiting bakau dengan menutup sementara akses penangkapan kepiting di area tersebut. Kegiatan patroli dan monitoring ini dilakukan secara mingguan untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran, seperti aktivitas penangkapan kepiting di lokasi yang sedang dalam durasi tabungan alam tersebut.
Pada saat patroli berlangsung, tim mendeteksi adanya pergerakan di permukaan air yang kemudian teridentifikasi sebagai pesut. Sebanyak tiga ekor pesut terlihat di perairan yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi uji coba TC di Sungai Cabang Jalil. Keberadaan mamalia langka ini menjadi indikator penting bahwa perairan di kawasan tersebut masih mampu mendukung kehidupan spesies yang dilindungi seperti pesut. Penemuan pesut terjadi saat cuaca hujan gerimis, yang menurut masyarakat setempat, merupakan kondisi yang sering dikaitkan dengan kemunculan pesut. Mereka meyakini bahwa pesut cenderung muncul setelah hujan atau saat hujan yang tidak terlalu lebat. Keterangan dari masyarakat ini menambah dimensi lokal dari pengetahuan tradisional yang melibatkan satwa.
Selain itu, masyarakat nelayan Batu Ampar memiliki kepercayaan unik terkait kemunculan pesut. Mereka meyakini bahwa jika pesut terlihat pada saat siang hari, maka malam harinya akan menjadi waktu yang baik untuk menangkap udang menggunakan jala, karena keberadaan pesut dianggap sebagai pertanda ekosistem yang kaya akan biota air. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara masyarakat lokal dan ekosistem sekitar, di mana kepercayaan tradisional sering kali sejalan dengan pemahaman ekologis mengenai kondisi lingkungan perairan.
Penemuan pesut ini tidak hanya menjadi bukti keberlanjutan upaya konservasi di area tersebut tetapi juga memperkuat pentingnya kolaborasi antara masyarakat lokal dan tim konservasi. Dengan rutin melakukan patroli dan monitoring, baik untuk menjaga keberlangsungan program TC maupun memantau kondisi ekosistem, upaya perlindungan habitat pesut di kawasan hutan mangrove dan sekitarnya dapat terus ditingkatkan.
Gambar 4. Pesut (Orcaella brevirostris) – Achmad/Blue Forests
Upaya pemantauan di kawasan hutan mangrove Desa Batu Ampar akan dilakukan secara berkesinambungan oleh tim kerja patroli dan monitoring, khususnya di area uji coba tabungan alam kepiting bakau atau TC, hingga masa durasi tabungan alam selesai dalam jangka waktu tiga bulan. Selama periode ini, tim tidak hanya fokus pada pengawasan lokasi TC untuk mencegah pelanggaran, seperti aktivitas penangkapan kepiting yang tidak diperbolehkan, tetapi juga melakukan pendataan mendetail terkait keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Pendataan ini mencakup pencatatan spesies flora dan fauna, pengamatan fitur-fitur alam khas serta identifikasi indikator-indikator kerusakan lingkungan yang berpotensi mengancam ekosistem mangrove.
Selain pengawasan teknis, kegiatan pemantauan ini juga dimanfaatkan untuk mensosialisasikan program uji coba TC kepada para nelayan di perairan Batu Ampar. Sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap metode pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, yang melibatkan kerja sama antara masyarakat lokal dan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan organisasi konservasi. Melalui pendekatan ini, nelayan diajak untuk berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan ekosistem mangrove dan populasi kepiting bakau.
Kegiatan TC sendiri merupakan langkah inovatif yang diperkenalkan pada 25 November 2024, dengan tujuan memberikan waktu jeda bagi kepiting bakau untuk berkembang biak. Dengan memberlakukan larangan sementara terhadap aktivitas penangkapan di area TC, diharapkan populasi kepiting dapat meningkat secara alami melalui proses regenerasi. Dalam pelaksanaannya, semua bentuk aktivitas di dalam sungai yang berpotensi mengganggu proses perkembangbiakan kepiting, seperti penangkapan ikan atau kepiting secara intensif.
Kegiatan ini tidak hanya mendukung pelestarian kepiting bakau sebagai komoditas penting bagi masyarakat pesisir, tetapi juga menjadi bagian dari upaya konservasi ekosistem mangrove secara menyeluruh. Dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya, program TC dapat menciptakan model pengelolaan yang berkelanjutan, memperkuat hubungan antara manusia dan lingkungan, serta memastikan kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan mangrove Desa Batu Ampar untuk generasi mendatang.
Gambar 5. Kegiatan patroli dan monitoring lokasi TC – Achmad/Blue Forests
Ditulis: Achmad Juwardi