Armada speedboat itu perlahan melambat, menyisakan riak halus di antara rimbunan mangrove yang mengapit perairan Desa Igal di Indragiri Hilir. Di atas geladak, Alfian sigap mengangkat ponselnya, mengarahkan kamera ke titik yang bergelombang tenang. “Pesut, itu pesut!” seru anggota MMP dan Pokmaswas Igal Bertuah tersebut secara spontan. Reaksi itu disambut tatapan antusias rekan-rekannya.
Meski hanya sekilas dan tidak meloncat tinggi ke permukaan, mamalia langka itu sempat terekam beberapa menit. Bagi warga yang kerap menyusuri kawasan ini, menyaksikan kemunculan pesut sudah menjadi suguhan istimewa—sebuah bukti kehidupan yang masih bertahan di tengah ekosistem mangrove Kabupaten Indragiri Hilir.
Kejadian itu berlangsung pada 13 April 2025, dalam kegiatan monitoring ekosistem mangrove dan Kawasan Konservasi Daerah (KKD) Indragiri Hilir. Aksi tersebut dilaksanakan secara gabungan oleh Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan Pokmaswas di dua desa bertetangga, Desa Igal dan Desa Pulau Cawan. Sejak 2022 kelompok masyarakat pengawas SDA itu telah terbentuk dan aktif menjaga kelestarian ekosistem mangrove dan sumber daya perikanan di tingkat tapak. Secara rutin mereka melakukan monitoring dan pengawasan. Tujuannya untuk mencegah serta mengurangi aksi pengerusakan SDA, seperti aktivitas penebangan mangrove dan penangkapan ikan dengan cara meracun.
Keberadaan pesut (Orcaella brevirostris) di perairan Indragiri Hilir bukan sekadar keberuntungan. Ia adalah penanda bahwa ekosistem masih berfungsi, meski pelan-pelan tergerus oleh tekanan. Kini pesut turut menjadi perhatian khusus bagi MMP dan Pokmaswas setempat. Mamalia laut ini bersama ikan tirusan (keluarga Lethrinidae) dan udang nenek atau mantis (Oratosquilla oratoria), masuk dalam daftar target konservasi KKD Indragiri Hilir yang baru saja ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 107 Tahun 2023. Pesut termasuk dalam spesies terancam punah – Endangered (IUCN Red List, 2017). Sedangkan ikan tirusan dan udang nenek merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomis tinggi yang menjadi target tangkapan nelayan, baik dari Indragiri Hilir, hingga daerah sekitar seperti Jambi dan Kepulauan Riau.
Kemunculan pesut di habitat ekosistem mangrove (Achmad Juwardi/Blue Forests)
KKD Indragiri Hilir mencakup wilayah laut seluas 126.097,64 hektare yang meliputi perairan 19 desa administratif, termasuk Desa Igal dan Pulau Cawan. Penetapan kawasan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat pengelolaan terintegrasi wilayah daratan dan lautan (landscape-seascape), serta sebagai upaya pelestarian ekosistem mangrove dan sumber daya perikanan yang menjadi penopang kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Indragiri Hilir.
Upaya penguatan pengelolaan KKD Indragiri Hilir didorong untuk dilaksanakan secara terintegrasi oleh multi pihak. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Riau telah membentuk Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) sebagai pelaksana utama pengelolaan kawasan konservasi secara efektif dan berkelanjutan. Dukungan juga datang dari berbagai pihak: BPSPL Padang, Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Riau, bersama Yayasan Hutan Biru (YHB). Penetapan dan penguatan pengelolaan KKD Indragiri Hilir menjadi bagian dari target Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi laut sebesar 30 persen hingga 2045 mendatang.
“DKP Riau mengupayakan percepatan pembentukan pengelolaan kawasan konservasi perairan di Riau, salah satunya KKD di Indragiri Hilir,” ujar Aprilla Yunita, Ketua SUOP kawasan konservasi perairan Provinsi Riau. “Kita perlu untuk terus berkolaborasi bersama pihak yang peduli. NGO dan universitas selalu kami ajak untuk kerja konservasi bersama-sama.”
Respon di tingkat tapak tak kalah sigap. Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) di Desa Igal dan Pulau Cawan, menyambut baik pembentukan KKD Indragiri Hilir. Dengan pengalaman yang sudah mereka bangun sejak tiga tahun sebelumnya, masyarakat desa merasa diberi panggung dan peran penting. Kelompok pengawas SDA berbasis masyarakat ini telah berkapasitas dan memiliki pengalaman melaksanakan monitoring ekosistem mangrove dan daerah perikanan nelayan skala kecil. Agenda monitoring tersebut menjadi rutinitas dengan senantiasa berkoordinasi dengan penanggung jawab kawasan, Polhut KPH Mandah dan UPT PSDKP Wilayah 1. Dukungan dari pemerintah desa dan lembaga non-pemerintah (NGO) pun semakin menguatkan.
“Di desa kami (Desa Igal dan Pulau Cawan) dulu sering terjadi penebangan cerucuk dan peracunan ikan,” kenang Ridwan Mukhtar alias Pak Wan, Ketua MMP dan Pokmaswas Igal Bertuah. “Sejak patroli rutin kami lakukan, pelanggaran seperti itu berkurang drastis. Sekarang peracunan ikan nyaris tak terdengar lagi.”
Pendataan aktivitas nelayan oleh MMP dan Pokmaswas di Desa Igal (Wahyudin/Blue Forests)
KKD Indragiri Hilir yang baru ditetapkan pada tahun 2023 menjadi fokus tambahan bagi MMP dan Pokmaswas di Desa Igal dan Pulau Cawan. Para anggota kelompok masyarakat tersebut telah mendapatkan materi sosialisasi KKD Indragiri Hilir – penjelasan target konservasinya serta strategi keterlibatan masyarakat dalam upaya penguatan pengelolaan KKD Indragiri Hilir. Strategi perlindungan kawasan konservasi sejalan dengan upaya pelestarian SDA yang telah kelompok lakukan sejak tahun 2022. Integrasi perlindungan landscape-seascape (daratan dan lautan) krusial untuk berjalan karena memiliki ancaman kerusakan yang sama. Dampaknya sudah muncul dan dirasakan pada berbagai titik lokasi di Indragiri Hilir: abrasi pesisir, perkebunan kelapa hancur akibat tersalinisasi air laut, hingga migrasi massal akibat tenggelamnya daerah pemukiman masyarakat.
“Kami warga desa, kami yang harus melindungi mangrove. Tempat menangkap ikan tidak boleh diracun. Kalau rusak (mangrove-perikanan), kami warga desa yang rugi. Mau tinggal di mana? Mau cari uang di mana?,” jelas Dodi Subagio, Ketua MMP dan Pokmaswas Tirusan Cawan Desa Pulau Cawan.
Ekosistem mangrove di Desa Pulau Cawan menjadi salah satu perairan sumber daya perikanan yang ramai dijadikan fishing ground bagi nelayan, baik dari dalam maupun desa sekitarnya. Pokmaswas di desa ini diberi nama “Tirusan Cawan” karena komoditas perikanan tersebut menjadi salah satu target utama. Harga gelembung renang (swim bladder) ikan tirusan bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Utamanya dimanfaatkan sebagai bahan kolagen dan banyak diminati di pasar tingkat internasional. Popularitas ikan tirusan membuat praktik penangkapan berlebihan atau overfishing tak bisa dihindari. Maka penetapan ikan tirusan sebagai target konservasi di KKD Indragiri Hilir menjadi langkah penting: bukan hanya melindungi spesies, tapi menjaga sumber penghidupan nelayan kecil.
MMP Desa Igal bersama Polhut KPH Mandah menghentikan aktivitas penebangan mangrove (Wahyudin/Blue Forests)
Melanjutkan pembelajaran, mengupayakan kelestarian partisipatif
Kisah dari Desa Igal dan Pulau Cawan membawa pesan yang lebih besar: bahwa pelestarian lingkungan bisa tumbuh dari inisiatif masyarakat yang hidup paling dekat dengan sumber daya alam itu sendiri. Sejak tahun 2022, para pegiat lingkungan di dua desa tersebut membentuk kelompok MMP dan Pokmaswas. Mereka aktif melakukan patroli, saling bertukar informasi, dan membangun kerja sama lintas desa yang berbasis kebutuhan dan situasi nyata di lapangan.
Dampaknya mulai terlihat. Penebangan mangrove secara ilegal perlahan menurun. Praktik peracunan ikan yang sebelumnya sering ditemukan, kini hampir tidak pernah terjadi lagi. Masyarakat mulai menunjukkan kesadaran kolektif untuk menjaga hutan mangrove dan wilayah perairan tempat mereka bergantung hidup.
Pemasangan plang KKD Indragiri Hilir yang dilakukan oleh MMP dan Pokmaswas Desa Pulau Cawan (M. Hendra Putra/Blue Forests)
Namun pekerjaan mereka belum selesai. Tantangan baru muncul: bagaimana menjaga keberlanjutan aktivitas pengawasan ini ke depan? Kemandirian kelompok menjadi perhatian utama. Mereka menyadari bahwa tidak selamanya bisa bergantung pada bantuan atau program dari luar. Untuk itu, rencana mulai disusun—secara bertahap dan realistis.
Berbagai rencana strategis mulai mereka susun untuk menjaga keberlanjutan kegiatan pengawasan dan konservasi. Koordinasi rutin dengan berbagai pihak terus diupayakan, termasuk dengan Polhut KPH Mandah, DKP Provinsi Riau, pemerintah desa, serta organisasi non-pemerintah (NGO) yang selama ini mendampingi. Keterlibatan pihak eksternal dianggap penting untuk memastikan kegiatan tetap berjalan dan mendapatkan dukungan teknis maupun kelembagaan yang dibutuhkan.
Di saat yang sama, penting untuk memikirkan inisiatif mandiri berbasis potensi sumber daya alam lokal. Hal ini termasuk yang dipikirkan sebagai langkah strategis oleh kelompok. Salah satunya adalah membangun unit usaha berkelanjutan yang bisa dikelola oleh kelompok masyarakat sendiri, seperti menjadi mitra kelompok nelayan untuk pengumpulan hasil perikanan. Pengalaman mereka dalam program rehabilitasi mangrove juga membuka peluang untuk mengembangkan usaha pembibitan mangrove, yang dapat mendukung kegiatan rehabilitasi yang kini tengah gencar dilakukan di wilayah Indragiri Hilir. Dengan begitu, kegiatan konservasi tidak hanya menjadi kewajiban ekologis, tapi juga peluang ekonomi yang bisa menopang keberlanjutan kelompok.
“Kalau mangrove dan sungai kita terjaga, kita (masyarakat desa) juga yang senang,” ujar Dodi Subagio, Ketua MMP dan Pokmaswas Tirusan Cawan. “Makanya ayo kita pikirkan sama-sama, usahakan sama-sama.”
Di tengah rimbun mangrove dan tenangnya perairan Desa Igal dan Pulau Cawan, kerja konservasi terus berlangsung. Masyarakat yang dahulu hanya dianggap sebagai penerima manfaat, kini mengambil peran sebagai pelaku utama upaya konservasi. Mereka tidak hanya menjaga alam, tapi juga merawat masa depan desa mereka sendiri. Dan harapan itu selalu ada, di sela patroli yang rutin dilakukan, mamalia langka seperti pesut akan tetap muncul—menjadi penanda bahwa ekosistem mangrove dan sumber daya perikanan tetap pulih dan terus lestari.