“Maaf, Dek, lagi di perjalanan. Ada kegiatan di Desa Lasama. Mungkin baiknya setelah saya pulang dari lapangan, ya. Karena signal kurang bagus. Nanti kuinfokan kalau sudah aman,” balas Anastalia ketika dihubungi via WA.
Esoknya, Anastalia memang menepati janjinya. Lewat pesan singkat di WA, ia mengatakan bahwa sudah bisa dihubungi. Suaranya dari seberang terdengar ramah. Meskipun terkendala sinyal yang kurang bersahabat, ia melayani setiap pertanyaan dengan sabar dan menjelaskan dengan panjang dikali lebar.
Wanita yang akrab dipanggil Lia itu memang bukan sembarang wanita. Ketimbang memilih pekerjaan yang nyaman di ruangan ber-AC, Lia justru melakoni pekerjaan sebagai staf lapangan NGO (Non Governmental
Organization) yang memiliki risiko besar. Itupun dilakoninya bukan sehari-dua hari saja. “Dari tahun 2012 bekerja di NGO. Sudah 12 tahunlah,” ujarnya.
Lia menjalani kehidupan keras di NGO bukan tanpa alasan. Ia memang kadung mencintai dunia NGO, terutama perihal lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Sebelumnya Lia bekerja di WWF Indonesia yang berlokasi di
Wakatobi. Kurun 2021 silam, ia memutuskan berhenti dari WWF dan mau fokus mengurus keluarga, namun kemudian ia memutuskan untuk kembali terjun ke dunia lumpur, mengurusi mengrove di YHB (Yayasan Hutan Biru).
“Dulu sempat mau istirahat dulu, tidak bekerja lagi, tapi saya bingung tidak tahu mau ngapain. Soalnya saya memang terbiasa bekerja. Apalagi saya memang sudah menyenangi dunia NGO ini. makanya ketika ada pembukaan lowongan di YHB, saya mendaftar,” sambungnya lagi.
Saat ini Lia mengemban jabatan sebagai site coordinator di YHB untuk wilayah kerja Kabupaten Muna dan Muna Barat, dengan wilayah dampingan beberapa desa, antara lain di Kabupaten Muna: Desa Napalakura, Desa Wambona, Desa Baluara, Kelurahan Labunia, dan Kabupaten Muna Barat: Desa Lasama, Desa Latawe, Desa Kombikuno.
Selain karena faktor kecintaan, dukungan keluarga tentu menjadi salah satu faktor yang membuatnya bisa bertahan hingga sekarang. Lia yang memiliki seorang putri yang sudah menginjak kelas XI SMA ini mengaku mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Lia dan keluarga menjalani hubungan jarak jauh. Suaminya bekerja di Baubau, sekitar dua jam perjalanan menggunakan speedboat dari Muna, tempat Lia bekerja. Anak Lia sendiri ikut dengan suami. Biasanya Lia pulang sabtu ke Baubau dan kembali lagi ke Muna senin pagi.
Lia pernah mengajak putrinya ikut turun ke lapangan, ke lumpur-lumpur tempat lokasi mangrove. Sambil tertawa kecil, Lia menceritakan betapa putrinya cemas dan kasihan melihat dirinya kecapekan. Ia menjelaskan kepadanya bahwa tujuannya mengajak adalah untuk melatih putrinya itu agar memiliki mental baja dan tidak tergantung dengan laki-laki. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan bisa bekerja dan berkarya di mana saja, bahkan di lapangan berlumpur sekalipun. Beruntung, putri Lia bisa mengerti dan mendukung penuh kegiatan ibunya.
Berbicara mengenai peran perempuan, memang sudah sejak beberapa lama ini YHB mengarusutamakan isu kesetaraan gender. Selain Lia, di site Muna dan Muna Barat juga dihuni oleh beberapa orang staf perempuan. Komposisi antara perempuan dan laki-laki di sana cukup berimbang. Salah satu stafnya adalah Monika Linda.
Wanita yang tahun ini menginjak usia 28 tahun ini bergabung di YHB pada tahun 2023 silam, bersamaan dengan Lia, koordinatornya. Alumnus S-1 Pendidikan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Makassar, dan S-2 Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Hasanuddin ini mengawali karirnya sebagai volunteer mangrove di YHB. Ia mengakui beruntung dan merasa bersyukur dihubungi langsung untuk proses perekrutan pascakegiatan volunteering yang dilaksanakan. Monik, sebagaimana ia biasa disapa, bergabung dalam kegiatan pendataan mangrove yang dilakukan YHB dalam rangka inventarisasi isu dan permasalahan pesisir guna melaksanakan upaya rehabilitasi.
Berbeda dengan Monik yang sudah memiliki pengalaman dalam rehabilitasi mangrove, bagi Lia, rehabilitasi mangrove sendiri adalah hal yang baru baginya. Lia yang tamatan Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin ini merasa bahwa selama ini mengenal mangrove sebatas teori saja. Padahal, permasalahan mangrove ini tidak sesederhana teori yang digaung-gaungkan konservasionis, dimana konservasi selalu di atas segalanya dan menyingkirkan kepentingan masyarakat.
Padahal, justru yang paling paham mengenai mangrove itu adalah masyarakat pesisir itu sendiri. Ary Prihardhyanto Keim, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang fokus meneliti etnobiologi, menjelaskan bahwa sejak zaman dulu—perkiraan sekitar 25.000 tahun SM—mangrove memegang peranan penting bagi pola sebaran masyarakat Austronesia dan Melanesia hingga berlayar jauh ke Madagaskar sana. Hal itu juga dituliskan oleh Robert Dick-Read pada buku fenomenalnya; The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times.
Menurut Lia dan juga Monik, salah satu faktor menurunnya keterikatan masyarakat pesisir dengan mangrove adalah karena kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, dan mendesak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa di Sulawesi Tenggara, khususnya Kabupaten Muna dan Muna Barat terjadi degradasi lahan mangrove akibat alih fungsi lahan menjadi tambak. Tipologi tambak di Muna dan Muna Barat sendiri kebanyakan tambak bugis style, yang mana pembukaan lahan yang luas untuk satu buah kolam secara tidak beraturan dan tidak seragam—berbeda dengan tipologi tambak Jawa dan tambak perusahaan yang berukuran kecil dan seragam per kolamnya—namun demikian masih menyisakan hamparan mangrove pada zona greenbelt-nya.
“Muna termasuk lokasi yang tidak terlalu banyak NGO masuk untuk intervensi kegiatan. Tantangannya adalah seringkali terbentur kepentingan ekonomi sehingga pendekatan yang dilakukan tidak bisa memaksa dan harus
dengan cara sukarela. Sering juga kita temui lahan mangrove yang sudah bersurat (izin). Ini menjadi tantangan tersendiri untuk kita,” tegas Lia.
Monik menambahkan bahwa diperlukan pengelolaan mangrove yang terpadu, adaptif dan kolaboratif sebagai solusi bagi permasalahan tersebut. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan beberapa pendekatan yang dilakukan mereka selaku staf YHB melalui kegiatan-kegiatan, antara lain Sekolah Lapang Pesisir, Pendidikan Lingkungan Hidup, Monitoring dan Patroli Mangrove, Pendampingan Bumdes, Pengembangan Bisnis, Penilaian Peluang Blue Carbon, ROAM (Restoration Opportunity Assessment Method), EMR (Ecological Mangrove Rehabilitation), Advokasi Tata Ruang, Kolaborasi dengan Para Pihak serta Integrasi Kegiatan Pengelolaan Mangrove dalam Perencanaan RPJMDes.
Di YHB sendiri, mereka mengadopsi metode EMR, yang mana dalam prinsip rehabilitasi, prinsip utamanya adalah menyingkirkan faktor gangguan. Dalam menilai faktor gangguan dan upaya rehabilitasi yang tepat, terlebih dahulu dilaksanakan penilaian mengenai kondisi mangrove tersebut menggunakan metode ROAM. Kombinasi dua metode ini diyakini pihak YHB sebagai metode yang mendekati sempurna. Tak lupa melibatkan pihak masyarakat selaku aktor utama dalam kegiatan rehabilitasi.
“Kita selalu mengupayakan untuk melibatkan masyarakat dalam hal apapun”. Pemilihan metode yang tepat diharapkan menghasilkan tindakan yang tepat juga. Yusran Nurdin Massa, penasihat Teknis Bidang Lingkungan YHB selalu menanamkan jargon andalannya kepada staf YHB, “Menanam mangrove di kepala”, yakni memahami dengan benar kondisi di lokasi calon rehabilitasi dan melakukan penilaian yang tepat sebelum melaksanakan kegiatan rehabilitasi.
Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengadakan Padiatapa (perjanjian di awal tanpa paksaan). Padiatapa ini dilandasi rasa saling percaya yang dituangkan di atas sebuah perjanjian komitmen dari masyarakat untuk mendukung upaya rehabilitasi yang dilakukan. Monik menambahkan bahwa sepanjang 2023 hingga sekarang, program berjalan lancar dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Bahkan masyarakat sudah berhasil memperoleh penghasilan tambahan dari pengolahan mangrove.
“Kami mengupayakan melaksanakan sekolah lapang untuk masyarakat, yang mana mereka sendiri yang menentukan ingin belajar apa, sedangkan kami hanya bertugas memfasilitasinya. Salah satu pembelajaran yang telah dilakukan adalah pengolahan mangrove menjadi produk turunan yang mempunyai nilai jual,” jelas Monik.
“Kami juga mengupayakan pendekatan tambak organik, yang mana untuk pupuk dan pakan ikan tidak lagi menggunakan bahan kimia. Yang lebih menggembirakannya lagi, masyarakat mendukung. Dan beberapa kelompok ada yang menolak menjual pupuk alaminya kepada kelompok lain karena penggunaan mereka saja masih kurang. Nah, dari sini kita bisa melihat antusiasme dari masyarakat itu sebenarnya tinggi,” ujarnya lagi.
Monik dan Lia memang hanyalah beberapa orang di antara ratusan orang lainnya yang bergiat dalam hal rehabilitasi mangrove. Bagi mereka, rehabilitasi mangrove itu adalah suatu keharusan. Banyak manfaat yang diperoleh dari mangrove, seperti menyediakan oksigen dan menyerap karbon dioksida. Ibarat bernapas di atas lumpur.
Meskipun demikian, baik Monik maupun Lia mengakui bahwa indikator keberhasilan program sejauh ini masih belum terukur secara kuantitatif karena program berjalan baru setahun, namun demikian mereka optimis program akan mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat. Ketika ditanyakan harapan ke depannya, mereka menjawab, “Mangrove terjaga, masyarakat sejahtera.”
Penulis: Windi Syahrian