Hutan termasuk semua keanekaragaman hayati dan non-hayati di dalamnya merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarakat adat Suku Kamoro, tak terkecuali masyarakat adat Kampung Nayaro. Bagi mereka hutan ibarat seorang “Ibu” yang menyediakan makanan untuk anak-anaknya.
Nayaro merupakan salah satu kampung yang masuk dalam wilayah administrasi Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika Papua. Kampung ini dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan menggunakan bus. Kampung Nayaro terbilang unik karena berada dalam wilayah kontrak karya PT.Freeport Indonesia (PTFI).
Pentingnya Hutan Bagi Masyarakat Nayaro
Wilayah yang secara adat dimiliki oleh masyarakat adat Kampung Nayaro ini terbentang dari wilayah pesisir Selatan Papua hingga ke wilayah dataran tinggi di Mile 50 PTFI. Wilayah seluas 190.000 hektar (berdasarkan Pemetaan Partisipatif Wilayah Pemanfaatan SDA Tradisional) ini meliputi kawasan hutan mangrove, hutan rawa sagu, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Masyarakat Nayaro menyebutnya Tapare atau tanah tempat mencari makan. Itulah sebabnya mengapa wilayah ini begitu penting bagi mereka. Bagaimana tidak, hutan, dusun-dusun, dan sungai-sungai yang ada di dalamnya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat untuk pemenuhan pangan dan ekonomi keluarga seperti sagu, hewan buruan, buah-buahan hingga obat-obatan tradisional.
Wilayah ini juga sangat penting bagi kawasan Konservasi Taman Nasional Lorentz (TNL). Walaupun belum ditetapkan oleh pemerintah, Kampung Nayaro dapat dikatakan merupakan daerah penyangga (buffer zone) sebelah Barat TNL. Terjaganya kualitas alam Kampung Nayaro berarti kabar baik bagi kelestarian TNL. Sebaliknya, degradasi kawasan yang terjadi di Kampung Nayaro merupakan ancaman bagi keberadaan taman nasional terluas di Asia Tenggara tersebut.
Samuel Betaubun, seorang pemuda Kampung Nayaro yang sejak tahun 2017 ikut terlibat dalam program LESTARI di Kampung Nayaro menyadari hal itu. “Wilayah ini, kami punya. Kami cari makan, pangkur sagu di dusun, berburu babi hutan dan jaring ikan di kali. Ini penting untuk kami jaga. Kalau bukan kami yang lindungi siapa lagi? Terus nanti kalau hutan rusak, kami punya anak cucu mau cari makan di mana?,” ungkap Sam, sapaan akrab pemuda kelahiran Merauke 1 Mei 1989 ini.
Mame Airafua, Kelompok Perlindungan Hutan Nayaro
Awal tahun 2018, pemerintah kampung, tetua adat, bersama masyarakat Nayaro sepakat membentuk sebuah kelompok yang dapat melakukan pengawasan demi kelestarian alam di Nayaro. Kelompok ini terdiri dari 19 orang pemuda yang bertugas melakukan monitoring dan patroli rutin di wilayah hutan Nayaro, dengan enam orang tetua adat perwakilan setiap Taparu di Nayaro bertindak sebagai dewan pembina. Sam kemudian ditunjuk menjadi ketua kelompok. Kelompok ini diberi nama Kelompok Perlindungan Hutan Mame Airafua Kampung Nayaro. Mame Airafua diambil dari bahasa Kamoro yang berarti “mari kita lihat sama-sama,” seperti halnya monitoring dan patroli, melihat kondisi hutan dan melaporkan temuan-temuan yang didapatkan.
Berbekal metode monitoring partisipatif sederhana yang diadopsi dari metode Penilaian Integritas Hutan (Forest Integrity Assessment/FIA) yang dipadukan dengan pengetahuan lokal masyarakat, Kelompok Mame Airafua melakukan kegiatan monitoring dan patroli di wilayah-wilayah yang dinilai penting dan mewakili zona-zona yang telah tertuang dalam peta Wilayah Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) Tradisional Kampung Nayaro. Wilayah tersebut diantaranya berada dalam wilayah Zona Lindung Keramat Sejarah, Zona Pemanfaatan Hasil Perikanan/Mangrove, Zona Pemanfaatan Sagu dan Berburu dan Zona Pemanfaatan Hasil Hutan (dekat pemukiman).
Ancaman Kelestarian Sumber Daya Hutan Nayaro
Setelah beberapa kali melakukan monitoring, kelompok menemukan fakta bahwa wilayah hutan yang merupakan tempat keramat (Zona Lindung Keramat Sejarah) masih sangat terjaga dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal ini berbanding terbalik dengan wilayah yang dekat dengan pemukiman masyarakat (Zona Pemanfaatan Hasil Hutan) dimana wilayah ini sangat mudah diakses dan bukan merupakan wilayah yang dikeramatkan oleh masyarakat Nayaro. Berdasarkan hasil monitoring, beberapa spesies satwa penting seperti kasuari dan babi hutan sudah sangat sulit ditemui, baik dilihat secara langsung, suara, jejak, kotoran maupun sarang. Diduga karena tingginya aktivitas perburuan di wilayah ini. Menyadari hal itu, kelompok kemudian menginisiasi penyusunan peraturan kampung Nayaro tentang Pemanfaatan dan Perlindungan Hutan untuk mengatur pemanfaatan SDA di Nayaro. “Ini kalau kita tidak atur, bahaya. Memang kita masyarakat Kamoro hidup dari alam dengan cara berburu. Tetapi kalau semua dari yang besar sampai yang kecil-kecil, anakan juga diambil, lama-lama bisa habis juga,” jelas Sam.
Usulan kelompok menyusun peraturan kampung ternyata disambut baik oleh pemerintah kampung dan tokoh adat Nayaro. “Ini suatu hal yang baik. Kami dari tetua adat sangat mendukung peraturan kampung ini,” ungkap Paulinus Mapuaripi, Ketua Bamuskam dan Dewan Adat Kampung Nayaro.
Mulai Dari Diri Sendiri
Hingga sekarang anggota kelompok masih terus melakukan sosialisasi dan penyadartahuan akan pentingnya konservasi kepada masyarakat. Terlebih lagi saat ini sudah masuk musim bertelur Kura-Kura Moncong Babi/KKMB (Carettochelys insculpta). Pada saat seperti ini, masyarakat biasanya mengambil telur dan induk KKMB sebagai tambahan sumber protein masyarakat. Kelompok menyadari kalau pengambilan telur dan induk KKMB tidak dibatasi bukan tidak mungkin, di kemudian hari KKMB akan punah. Meskipun tidak mudah, namun kehadiran kelompok kini telah didengar oleh masyarakat. “Secara perlahan kami coba sadarkan masyarakat. Kami mulai dari diri sendiri dan anggota keluarga kami. Kemarin bapak dari Kris Mepere, salah satu anggota kelompok menjaring ikan di Kali Kopi, dan setelah diangkat ternyata ada KKMB yang tersangkut di jaring ikan miliknya. Tanpa pikir panjang Kris minta supaya KKMB itu dilepas, akhirnya beliau kasi lepas kembali,” ungkap Sam.
Melalui pendekatan secara persuasif, anggota kelompok terus menyebarkan semangat konservasi kepada masyarakat terutama anak-anak usia sekolah. Hasilnya sekarang masyarakat sedikit demi sedikit mulai mengerti dan peduli terhadap lingkungan. “Dulu anak-anak kecil ini kalau jalan, mereka semua pegang ketapel. Mereka tembak-tembak burung pakai ketapel. Tetapi sekarang karena mereka tahu bahwa ada kami sebagai kelompok perlindungan hutan, akhirnya mereka pikir-pikir lagi kalau mau ketapel burung,” ucap Sam.
Memang tidak mudah melakukan upaya advokasi konservasi kepada masyarakat, terlebih karena masyarakat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Perlu dukungan semua pihak mulai dari Tetua Adat, Pemerintah Kampung, Pemerintah Distrik, Cabang Dinas Kehutanan, BBKSDA, dan PTFI sebagai pihak yang diberikan izin pengelolaan kawasan oleh pemerintah. Melalui kelompok Perlindungan Hutan, sumber daya alam perlu dipastikan pengelolaannya secara bijak berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat.