Upaya konservasi sumber daya alam memiliki beberapa tantangan, salah satunya pengarusutamaan gender. Dunia konservasi masih sangat laki-laki, alih-alih menjadi ruang inklusif bagi perempuan yang merupakan salah satu kelompok paling rentan. Padahal banyak data statistik yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam justru didominasi oleh perempuan. Keterlibatan perempuan diperlukan untuk memberikan perspektif baru dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan.
Keterlibatan perempuan dalam upaya konservasi kawasan pesisir secara perlahan mulai muncul di Indragiri Hilir, Riau. di Desa Igal dan Pulau Cawan sekelompok ibu-ibu terlibat dalam aktivitas kelompok pengawas sumber daya alam berbasis masyarakat. Mereka saling bahu membahu dalam mengamankan hutan mangrove dan perairan dari ancaman pengrusakan. Walau masih dalam jumlah yang sedikit, keterlibatan perempuan dalam kegiatan konservasi memberikan pembelajaran dan warna baru dalam upaya melestarikan ekosistem.
Jumriana (37 Tahun), merupakan anggota Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Desa Igal. Perempuan yang akrab disapa Yana ini kembali ke desa kelahirannya setelah menyelesaikan studi magister dari Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial UI dan bekerja selama lebih kurang tujuh tahun di Ibukota Jakarta. “Kalau dibilang ini panggilan hati, klise ya. Saya hanya mau bermanfaat,” ucap Yana ketika menjelaskan apa motivasi dirinya untuk aktif berpartisipasi dalam kelompok pengawas.
Empat perempuan dari Desa Pulau Cawan yaitu Nur Aisyah (30 Tahun), Julia Nafita Yanti (28 Tahun), Rahimah (43 Tahun), dan Raja Ramlah (47 Tahun) nampak selalu bersama dalam kegiatan-kegiatan MMP dan Pokmaswas Desa Pulau Cawan maupun kegiatan lainnya. Ibu-ibu ini juga rutin mencari siput di sekitar desa untuk dijual dengan harga sekitar Rp25.000/kg. Kepekaan mereka terhadap hasil siput yang tidak melimpah seperti dulu, juga keprihatinan atas dampak degradasi lingkungan yang sudah dirasakan, membuat mereka mau berpartisipasi dalam usaha-usaha untuk melindungi lingkungan.
Lebih lanjut, perubahan lingkungan yang sangat terasa yaitu datangnya banjir karena air pasang tinggi yang kini telah rutin ‘mampir’ setiap tahunnya. Banjir tersebut menjangkau dan merendam rumah mereka hingga perkebunan sehingga berdampak pada berkurangnya hasil panen dan sumber pangan lokal. Perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim global juga ancaman lokal di Indragiri Hilir antara lain penebangan pohon mangrove untuk arang maupun digunakan sebagai ‘cerucuk’ yang menjadi opsi terjangkau untuk mendirikan bangunan, yang juga menjadi dilema antara pembangunan dan lingkungan. Penangkapan ikan secara destruktif menggunakan racun juga masih sering dijumpai.
Untuk itu, peran kelompok pengawas tingkat desa diperlukan untuk melindungi sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Hal tersebut turut dilakukan oleh Jumriana dan Ibu-Ibu Pulau Cawan bersama kelompok pengawas. Meskipun didominasi oleh laki-laki, peran dan suara mereka turut berdampak dalam pelaksanaan patroli yang memerlukan pendekatan secara kekeluargaan dengan pelanggar hingga pengambilan keputusan kelompok.
Dukungan antar anggota kelompok maupun keluarga didapatkan secara penuh oleh Jumriana dan Ibu-Ibu Pulau Cawan. Selama membersamai kelompok, mereka tidak menemukan perbedaan hanya karena mereka perempuan. Sebagai perempuan dan menjadi ibu rumah tangga, peran domestik menjadi salah satu tantangan tersendiri. Bangun dan memasak lebih pagi sudah biasa mereka lakukan ketika harus berkegiatan bersama kelompok. Tidak jarang pula mereka harus bernegosiasi dengan keluarga dan kelompok ketika agenda berjalan bersamaan sehingga mereka harus memilih mana yang harus didahulukan.
Keterlibatan mereka dalam kelompok pengawas yang berdampak langsung pada komunikasi dan berkurangnya jumlah pelanggar, juga berdampak pada keseharian mereka dalam ruang berkumpul santai bersama tetangga untuk membagikan pembelajaran dan pengalaman yang mereka dapatkan. Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh Jumriana dan Ibu-Ibu Pulau Cawan untuk mengedukasi terkait tantangan, potensi, dan bagaimana mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Pendekatan ini dapat menjadi pendekatan strategis dan berkelanjutan untuk membangun masyarakat yang peduli lingkungan.
Meskipun usaha-usaha sederhana yang mereka lakukan untuk melindungi lingkungan dan mengedukasi masyarakat nampak tidak berdampak secara instan, namun mereka percaya usaha tersebut akan berdampak untuk jangka panjang. Harapan mereka juga mampu mengupayakan mata pencaharian alternatif bagi mereka maupun ibu-ibu lainnya untuk mendukung pemenuhan ekonomi keluarga melalui produk pengolahan mangrove dan perikanan.