Desa Baluara adalah desa di pesisir Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan tradisional dan petani. Komoditas pertanian utama yang dihasilkan desa ini adalah pisang, jagung, jambu mete, dan ubi kayu. Meskipun sebagian besar rumah memiliki lahan pekarangan luas, lahan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal dan umumnya digunakan sebagai tempat ternak sapi atau dibiarkan untuk sapi liar mencari makan. Akibatnya, lahan pekarangan yang bisa digunakan untuk menanam tanaman pangan khususnya sayuran masih terbengkalai, sehingga masyarakat sering kali masih bergantung pada pasar untuk kebutuhan sayuran.
Melihat potensi yang besar yang dimiliki Desa Baluara, program Pertanian Terintegrasi kemudian diusulkan sebagai solusi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. YHB bekerjasama dengan pemerintah desa merancang Program Pertanian Terintegrasi di Desa Baluara dalam skema Sekolah Lapang (SL), di mana masyarakat belajar bersama secara langsung di lapangan agar dapat memanfaatkan pekarangan rumah mereka dengan lebih optimal. Antusiasme warga dalam mengikuti kegiatan ini sangat tinggi, terutama dalam upaya menjadikan lingkungan pekarangan yang tadinya tidak produktif menjadi sumber pangan dan pendapatan tambahan. Peserta terdiri dari 25 orang yang terdiri dari petani, pedagang, dan mayoritas ibu rumah tangga. Pertemuan dilakukan 2-3 kali dalam sebulan, mereka belajar mulai dari penyiapan lahan, pembuatan bedengan, penanaman, pemeliharaan, pembuatan kompos, hama dan pengelolaan hama hingga proses panen.
Tidak hanya berhenti di situ, program ini juga mendorong pemanfaatan sumber daya lain dari lingkungan sekitar. Daun-daunan yang berjatuhan di sekitar pemukiman, kotoran ternak yang sudah dipilah, serta limbah organik rumah tangga dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk kompos tambahan. Dalam prosesnya, kotoran ternak yang sebelumnya dianggap kurang bermanfaat atau bahkan mengganggu kini dimanfaatkan sebagai sumber kompos yang dapat menyuburkan tanah. Kompos ini kemudian dimanfaatkan di lahan pekarangan desa yang diubah menjadi bedengan untuk menanam berbagai sayuran. Dengan adanya kompos ini, tanah menjadi lebih subur, yang secara langsung berkontribusi pada hasil panen yang lebih baik tanpa perlu bergantung pada pupuk kimia yang harganya cenderung mahal.
Seiring berjalannya waktu, beberapa peserta SL mulai menyiapkan lahan pekarangan masing-masing, membuat bedengan, dan menanam berbagai sayuran, baik untuk konsumsi pribadi maupun dijual di pasar lokal. Bahkan, warga desa lain yang memiliki lahan terbatas juga ikut merasakan manfaatnya dengan membeli sayuran segar langsung dari para peserta, yang turut menggerakkan ekonomi lokal.
Gambar 1. Proses pembuatan bedengan oleh peserta SL (Mega/Blue Forests)
Gambar 2. Pembuatan pupuk kompos (Monika/Blue Forests)
Melihat hasil positif dari kegiatan SL ini, Pemerintah Desa Baluara mengambil langkah lebih lanjut dengan mendorong pengaktifan kembali kelompok Dasa Wisma di desa. Pemerintah desa memberikan dukungan dana kepada setiap kelompok, yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah pekarangan rumah warga secara lebih produktif serta membeli bibit berbagai jenis tanaman sayuran. Langkah ini tidak hanya membantu meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tetapi juga memperkuat kerjasama antarwarga dalam memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan dan pendapatan tambahan bagi keluarga.
Selain itu, rencana jangka panjang dari program ini adalah membangun rumah produksi sebagai pusat oleh-oleh desa. Rumah produksi ini nantinya akan menjadi tempat bagi warga untuk menjual berbagai produk hasil pertanian, olahan makanan, dan kerajinan tangan khas desa yang dapat menarik perhatian wisatawan serta menambah penghasilan masyarakat desa.
Gambar 3. Ibu Maya menyiram tanaman sayur di pekarangannya (Siska/Blue Forests)
Gambar 4. Ibu Maya memetik sayuran (Siska/Blue Forests)
Salah satu peserta, Ibu Maya Sari, telah merasakan secara langsung manfaat dari mengikuti kegiatan SL ini. Pada awalnya, ia hanya bermaksud belajar menanam sayuran di pekarangan rumahnya sebagai bagian dari kegiatan SL. Namun, setelah beberapa waktu menjalani prosesnya, Ibu Maya mulai menyadari banyaknya manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini. “Setelah menanam sayur sendiri, saya tak perlu lagi membeli sayuran harian yang biasanya menghabiskan Rp. 10.000, karena sekarang saya bisa memetik langsung di pekarangan,” ujarnya dengan penuh semangat.
Selain membantu mengurangi pengeluaran harian, menanam sayuran sendiri juga memberikan manfaat kesehatan yang signifikan. Ibu Maya memilih metode alami untuk merawat tanaman di pekarangannya, menggunakan kompos buatan sendiri dari campuran daun kering, kotoran ternak, dan sisa makanan rumah tangga tanpa tambahan bahan kimia. Dengan cara ini, ia merasa yakin bahwa sayuran yang ia konsumsi lebih sehat dan aman bagi keluarganya. Selain itu, kegiatan berkebun ini juga menjadi sarana menjaga kesehatan fisik dan mengisi waktu dengan aktivitas positif di sekitar rumah.
Panen sayur yang dihasilkan dari kebunnya pun cukup melimpah, sehingga Ibu Maya dapat menjual sebagian hasilnya kepada tetangga dan warga desa lainnya. Banyak pembeli bahkan datang langsung ke rumahnya untuk mendapatkan sayuran segar. Kesuksesan ini membuat Ibu Maya semakin antusias dan berharap agar warga Desa Baluara, khususnya peserta Sekolah Lapang lainnya, bisa mengikuti langkahnya. “Semoga masyarakat Desa Baluara, terutama peserta SL, bisa memanfaatkan pekarangan mereka seperti yang saya lakukan,” ucapnya penuh harap.
Ditulis: Monika Linda dan Marini