Saya masih ingat pertama kali bertemu dengan Supardi (47 tahun) pada hari pertama ToT (Training of Trainer) Sekolah Lapang Pesisir. Ia adalah salah satu dari 21 partisipan yang terseleksi untuk menjadi pengurus kelompok dalam program revitalisasi akuakultur, yang merupakan bagian dari Building with Nature (BwN) untuk mengurangi erosi pesisir di Demak. Program ini memelihara ketahanan pesisir dengan menggabungkan smart engineering dan rehabilitasi mangrove, dengan mengenalkan praktik penggunaan lahan berkelanjutan. Di Demak, kami memiliki target revitalisasi 300 Ha kolam akuakultur terdegradasi untuk budidaya kepiting dan udang.
Selain pekerjaan utamanya sebagai sekretaris desa di Desa Surodadi, ia juga mengelola kolamnya yang sebesar 3,5 Ha. Selama tiga hari pelatihan ia selalu bercerita tentang kesulitan membudidayakan udang Vannamei di kolamnya. Seperti petambak udang lain di sepanjang pesisir Demak, ia sering mengalami kegagalan dalam membudidayakan spesies tersebut. Anakan udang biasanya hanya bertahan 1,5 bulan setelah penyediaan stok. Ketika anakan udang terlihat stres dan mulai berenang di permukaan air, petambak akan langsung melakukan panen walaupun udang masih terlalu kecil untuk dipanen dan hanya akan terjual dengan harga rendah.
Selama 3 hari ToT di Januari 2016, Supardi selalu bertanya solusi teknis untuk permasalahan spesifik ini, padahal pelatihan hanya bertujuan meningkatkan kemampuan menjadi seorang fasilitator, bukan melatih teknik manajemen akuakultur. Dia akhir sesi pelatihan, ia mengungkapkan kekecewaan karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari para pelatih terkait pertanyaannya
Namun pada hari Minggu 10 April 2016, di saat pelatihan sudah berjalan selama 3,5 bulan, Supardi mengundang para pelatih, Irvan dan Yoso, menuju kolam seluas 1.800 m2 miliknya saat panen. Udang dipanen 2 bulan 3 minggu setelah penyediaan, dan berukuran panjang 8 cm dengan lingkar tubuh 3,3 cm. Total panen sebanyak 100 kg, dapat ia jual seharga 35.000 rupiah/kg. Ia berkata panennya tak pernah sebagus ini sebelumnya. Dalam sepuluh tahun terakhir ia hanya mendapati panen buruk akibat kematian massal, yang disebabkan penurunan kualitas tanah dasar kolam secara drastis.
Ia menjelaskan panen suskses pertamanya adalah hasil partisipasinya dalam ToT (Training of Trainer) Sekolah Lapang Pesisir (SLP) yang diadakan dalam proyek Building with nature (BwN). Sekolah lapang pesisir adalah pelatihan dengan pendekatan yang diadaptasi dari pendekatan sekolah lapang Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petambak skala kecil untuk mengelola sumber daya pesisir, dalam agro-ekosistem setempat. SLP mendorong partisipan untuk menerapkan sistem LEISA pada budidaya ikan dan udang, dimana petambak dapat meningkatkan produktivitas dalam sistem budidaya, dengan memanfaatkan input lokal untuk mengurangi biaya dan dengan cara-cara ekologis untuk meminimalisasi dampak buruk dari praktik tambak pada ekosistem pesisir lokal.
Dalam rangka membuktikan efikasi sistem LEISA, ia mencoba teknik biakan yang dipelajari dari SLP di kolamnya, sembari mengganti penggunaan kompos dengan pakan pabrikan. Secara berkala, ia membagikan pengalaman dan perkembangan kolamnya kepada partisipan ToT yang lain. Sebagai contoh, yang ia pelajari di pelatihan, bahwa mengaplikasikan larutan mikroorganisme lokal (mol) di sore hari adalah waktu yang paling tepat, ketika paparan sinar matahari tidak terlalu kuat. Dari keberhasilan kecil tersebut, Supardi telah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya untuk kembali membudidayakan udang Vannamei. Ia berjanji bahwa ia berkomitmen untuk melaksanakan sistem LEISA yang ia pelajari di SLP secara menyeluruh pada kolamnya.
Partisipan ToT lain juga sangat antusias. Contohnya, Pak Abdul Ghofur (47 tahun), memutuskan untuk membandingkan efikasi teknik pembiakan baru dengan praktik konvensional, dengan cara membagi kolamnya menjadi 2 demplot: kolam perlakuan dan kolam konvensional (kontrol). Belakangan ini ia melaporkan bahwa ia membuat larutan mikroorganisme lokal dan kompos, lalu mengaplikasikannya pada kolam perlakuan. Ia mendapati klekap (nama lokal untuk organisme mikro dan makro yang terdiri dari alga biru – Cyanophyceae dan diatom – Bacillariophceae) mulai tumbuh pada kolam perlakuan, sementara tidak ada klekap yang tumbuh pada kolam kontrol. Klekap yang tumbuh dapat menjadi pakan yang sehat dan melimpah untuk ikan bandeng yang dibiakkan di kolam demplot. Sekarang, 2 minggu setelah penyediaan anakan udang, ia menanti-nanti panen yang berhasil.
Walaupun pelaksanaan SLP budidaya ikan di Demak masih sangat awal, dengan melihat dua cerita tersebut saya sangat yakin bahwa ada harapan baru untuk petambak ikan di Demak untuk merevitalisasi kolamnya melalui pengelolaan kolam yang lebih baik. Selain itu, pendekatan ini akan memungkinkan mereka untuk lebih banyak mengumpulkan, menyusun, dan mengembangkan pengetahuan lokal. Kita berada di jalan yang benar untuk mencapai tujuan soial-ekonomi BwN.