‘Tambak’ adalah nama lokal yang umum untuk kolam ikan air payau, biasanya untuk budidaya polikultur ikan bandeng (Chanos chanos) dan udang air payau. Terdapat bukti berumur 400 tahun, tambak di Sulawesi Selatan dibangun secara alami pada liku sungai yang dangkal dekat muara. Hingga sebelum 1964, untuk memenuhi permintaan udang yang meningkat dari Jepang (akibat dampak paska-perang dunia ke-2), dilakukan ekspansi besar-besaran dan intensifikasi budidaya tambak. Pada tahun 1984/85, pemerintah pusat Indonesia mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan ekspansi dan produksi melalui program INTAM, yang menyasar 12 provinsi di Indonesia. Sebagian besar perluasan tambak mengambil area hutan mangrove, karena baik tambak dan mangrove memerlukan banjir pasang surut dan drainase yang cukup.
Tambak dapat menjadi karakteristik yang masif pada lanskap pesisir, dapat dilihat dan dimengerti bagi siapapun yang pernah terbang menuju kota besar Indonesia di daerah delta seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, atau Makassar. Komplek tambak seluas 16.000 hektar lebih yang dimiliki PTCP Prima Genjot (anak perusahaan konglomerat Thailand, Charoen Pokphand) di Lampung adalah komplek akuakultur dengan batas terbesar di dunia, yang telah menggusur sistem mangrove yang bernilai 436-574 juta US dollar dalam perkiraan nilai mangrove sebagai barang dan jasa (Sathirathai dan Barbier, 2001).
Seiring hutan mangrove digusur oleh tambak, permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan baru bermunculan. Jasa yang dulu disediakan mangrove, seperti pengendalian banjir, penyangga air asin, dan penyedia produktivitas alami primer telah musnah. Sisa-sisa pohon mangrove (guguran daun, akar dan dahan yang mati) menyediakan sumber makanan untuk banyak plankton, bakteri, dan organisme yang menggerakkan rantai makanan daerah pesisir atau dekat laut. Yang paling terlihat adalah penurunan jumlah plankton dan organisme yang bermanfaat, seperti copepoda, yang sangat penting untuk pakan udang dan ikan kecil.
Dengan kurangnya sumber persediaan produktivitas alami primer, nelayan harus mengandalkan sumber nutrisi eksternal untuk menggerakkan produksi. Dua pembelian termahal oleh nelayan adalah pakan ikan dan pupuk. Berkaitan dengan pakan, sebagian besar pakan untuk produksi bandeng dan udang adalah barang impor. Untuk ‘meningkatkan daya saing’ ekspor produk akuakultur, pakan bandeng dan udang masuk dengan bebas bea masuk antarnegara, sebuah kebijakan yang dalam praktiknya malah menurunkan produksi pakan dalam negeri. Alhasil, nelayan menjadi bergantung sepenuhnya pada sumber eksternal yang diimpor. Berkaitan dengan pupuk, nelayan bandeng tradisional dalam sejarahnya menggunakan sumber nitrogen organik untuk menumbuhkan lapisan alga di dasar tambak, alga adalah sumber pakan utama untuk bandeng.
Namun, kolam semi-intensif dan intensif membutuhkan tingkat produksi yang lebih tinggi, sehingga jajaran pemerintah untuk pengembangan akuakultur mencanangkan penggunaan urea (bersamaan dengan TSP, pakan pabrikan, antibiotik, dan pestisida) dalam usaha intensifikasi akuakultur yang dikenal dengan “Revolusi Biru”. Penggunaan dan ketergantungan input pabrikan memiliki banyak kerugian terhadap nelayan di daerah pinggiran. Rata-rata, nelayan di Sulawesi Selatan telah menaikkan penggunaan urea sebanyak 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir, mencapai 1 ton urea per hektar dengan biaya 200 US dollar. Kurang dari setengah isi urea adalah nitrogen (hanya 46%), dengan sisa setengahnya adalah bahan pengisi, tidak memiliki nilai manfaat sebagai pupuk, yang bahkan dapat merusak properti biologis, kimiawi, dan fisik yang bermanfaat dalam substrat kolam. Salah satu anggota sekolah lapang nelayan di Sulawesi Selatan menyamakan bahan pengisi tersebut dengan semen , katena mengeraskan dasar kolam dan membunuh bakteri dan organisme bermanfaat yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas ekologi kolam.
Akibat harga pakan ikan impor yang mahal, nelayan Indonesia kadang menggunakan mie atau kerupuk kadaluarsa sebagai pengganti, yang hanya memiliki kandungan protein yang sedikit. Alhasil, nelayan mendapati keadaan pertumbuhan yang lambat sekaligus tingginya kejadian penyakit dan kematian. Sejak akhir 1990-an, nelayan tambak di Sulawesi Selatan telah menghadapi resiko kerugian yang konstan, sebagian besar atau seluruh panen mereka gagal akibat penyakit dan kematian, tanpa mereka mengerti apa penyebabnya. Penelitian dari tahun 1990-an mengungkapkan sepasang virus yang umum pada udang, menyerang Penaeus monodon (udang windu), jenis udang yang paling banyak dibudidayakan. Respon pemerintah pada saat itu adalah mengenalkan spesies udang alternatif, yang hingga saat ini mencakup promosi penggunaan Litopenaeus vannamei, udang putih asal pesisir pasifik di Amerika dari Meksiko hingga Peru, yang sering diakui (secara tidak benar) sebagai udang “tahan penyakit”. Masuknya vannamei, nama sebutan oleh penduduk lokal, telah mengenalkan banyak penyakit baru ke perairan Indonesia, seperti virus sindrom Taura.
Jawaban dari permasalahan penyakit udang bukanlah introduksi udang galur “tahan” penyakit, melainkan penyelesaian yang berhubungan dengan faktor lingkungan. Beberapa penulis sudah mengungkapkan kerusakan ekologis hutan mangrove, dimana 20% di antaranya sudah beralih fungsi seperti untuk pengembangan akuakultur. Dua belas provinsi yang menjadi target pengembangan akuakultur dalam program INTAM telah mengalami konversi, dengan rata-rata 60% hutan mangrove untuk akuakultur pada tahun 1982, dan dengan 6 provinsi di antaranya sudah mengalami konversi sebanyak 80-99%. Ketidakseimbangan penggunaan spesies eksotik dan eksternal serta input pabrikan dalam sistem budidaya secara terus menerus, tanpa langkah untuk menuju sistem budidaya yang alami (pola penggunaan lahan yang melibatkan habitat alami dan pengembangan praktik akuakultur organik), dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah terhadap rantai ekologis, penurunan produktivitas, dan meningkatnya kejadian penyakit.
Sejak penyebaran virus yang telah disebutkan tadi, pembiakan udang mengalami resiko kematian yang tinggi. Namun tetap, banyak nelayan mencoba mencapai produksi yang lebih tinggi dengan menambahkan urea ke kolam mereka, hingga 1 ton per hektar tiap siklus. Haji Haruna telah melakukan budidaya ikan di Desa Bontomanai, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan selama 40 tahun. Ia mengatakan 15 tahun terakhir adalah tahun-tahun terberat. Seperti tetangganya, ia juga menaikkan penggunaan urea (sekitar 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir) tanpa kenaikan hasil panen secara nyata, dan tetap mengalami resiko tinggi kehilangan panen akibat penyakit. Beberapa tahun lalu, ia mengalami kebangkrutan akibat kegagalan panen secara menyeluruh selama 3 tahun berturut-turut. Ia mencurigai penggunaan urea yang tinggi telah merusak kolamnya, entah kualitas air atau substratnya yang rusak. Dengan inisiatif dari dirinya sendiri, ia memulai menggunakan kotoran ayam untuk mengganti urea, dan sekali lagi ia dapat kembali membiakkan ikan dan udang di kolamnya. Ia mengikuti sekolah lapang nelayan 2 tahun lalu (di tahun 2011), dan masih melanjutkan penggunaan input organik saja tanpa input pabrikan. Ia merasa senang bisa beternak kembali, sementara nelayan yang lain, tetangganya yang masih menggunakan urea dan input pabrikan, mengalami tingkat kematian ternak yang tinggi bahkan menyeluruh selama 2 tahun terakhir.
Ini adalah kutipan dari Sekolah Lapang Nelayan, yang kami tulis untuk Aquacultur Asia Magazine.