Berdaya Dari Kampung Sendiri: Pembelajaran Sekolah Lapang Pesisir (SLP) Pupuk Organik di Kampung Mioko

“Oh, ternyata begini caranya bikin pupuk sendiri, gampang saja. Pupuk ini dari kita pu alam, untuk kita pu kebutuhan. Kitong belajar tidak kasih keluar uang untuk beli pupuk lagi.

 

Begitulah jawaban Rina ketika ditanya, “bagaimana menurut Rina setelah tahu ternyata di dalam kampung ini banyak bahan alami yang bisa dijadikan pupuk untuk tumbuhan yang kita tanam di kebun?”

 

Figure 1. Kasparina Waupuru (22 Tahun), Kampung Mioko

 

Pemilik nama lengkap Kasparina Waupuru (22 tahun) ini merupakan salah satu anggota kelompok Sekolah Lapang Pesisir (SLP) yang difasilitasi oleh Yayasan Hutan Biru (YHB) di Kampung Mioko, Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika, Papua. Keputusan perempuan muda ini untuk bergabung dan aktif di kegiatan Sekolah Lapang Pesisir di Mioko didasari dengan rasa penasarannya untuk belajar dan mengetahui proses pembuatan pupuk organik.

SLP dikembangkan oleh YHB untuk mengembangkan mata pencaharian yang berkelanjutan. Pendekatan SLP didasari oleh filosofi Sekolah Lapang Tani yang diarahkan untuk mengembangkan pola pikir yang kritis dalam pengembangan mata pencaharian yang berbasis pada potensi lokal dengan teknis pengelolaan yang benar.

Kegiatan pembuatan pupuk organik di Kampung Mioko menjadi salah satu bagian pembelajaran SLP yang diusulkan oleh masyarakat setempat khususnya oleh kaum perempuan atau mama-mama. Hal ini karena mayoritas masyarakat Kampung Mioko aktif berkebun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan domestik dalam rumah tangga. Berdasarkan pengalaman selama berkebun, pemenuhan pupuk untuk lahan perkebunan menjadi salah satu kendala yang cukup sering dihadapi.

Sejauh ini masyarakat lebih terbiasa membeli pupuk non-organik di kota untuk memenuhi kebutuhan pupuk selama berkebun di kampung. Ketergantungan akan pupuk non-organik terkadang menghambat aktivitas budidaya perkebunan masyarakat. Harga pupuk yang mahal membuat masyarakat terkadang lebih memilih untuk mengabaikan tanaman mereka.

Menjawab permasalahan tersebut, masyarakat pekebun di Kampung Mioko, dengan difasilitasi oleh Blue Forests, bersepakat untuk belajar bersama tentang pembuatan dan pemanfaatan pupuk organik. Semangat yang dibangun adalah dari kampung untuk pupuk organik. Harapannya lahir kebiasaan pemanfaatan tumbuhan atau tanaman yang ada di sekitar kampung yang bisa dijadikan bahan pengolahan pupuk organik. Dengan begitu secara perlahan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat akan penggunaan pupuk non organik.

 

Figure 2. Rina bersama peserta SLP sedang melakukan presentasi

 

Melalui seri pembelajaran dalam kelompok Sekolah Lapang Pesisir (SLP), tahapan pembelajaran pembuatan pupuk organik dilakukan. Peserta diajak untuk melakukan observasi dasar dengan melihat peluang ketersediaan jenis tumbuhan atau tanaman apa saja yang ada di dalam kampung. Kemudian peserta juga diminta untuk saling bertukar informasi. Gunanya untuk saling memperkaya pengetahuan dan pengalaman terkait bahan apa saja yang dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik.

Salah satu bentuk pupuk organik yang dipraktikan adalah pupuk organik padat. Peserta memulai pembuatan pupuk tersebut dengan mengumpulkan dedaunan kering dan batang pohon pisang yang mulai busuk. Kemudian seluruh bahan dihaluskan dengan cara dicincang menggunakan pisau, parang dan gunting. Bahan tersebut kemudian ditutup dan dibiarkan hingga membusuk. Setelah proses pembusukan menjadi sempurna, pupuk organik sudah siap untuk digunakan. Caranya dengan mencampur pupuk dengan tanah yang menjadi media tanam.

Masyarakat Kampung Mioko yang terlibat dalam kelompok Sekolah Lapang Pesisir cukup bervariasi secara usia. Kisarannya antara 22 hingga 45 tahun. Mayoritas peserta adalah kaum perempuan atau mama-mama. Ada kalanya kaum pria juga turut serta terlibat dalam proses pembelajaran SLP pembuatan pupuk organik.

 

Figure 3. Rina mengumpulkan bahan untuk membuat pupuk sendiri di rumah

 

Sejauh ini proses SLP pembuatan pupuk organik telah dirasakan manfaatnya oleh para peserta. Walau masih dalam skala kecil, paling tidak mereka telah memiliki alternatif penyediaan pupuk untuk budidaya tanaman sayur maupun buah di pekarangan sekitar kampung. Pengetahuan baru yang didapat dari proses pembelajaran partisipatif ini cukup baik dalam memberikan bekal bagi peserta agar berdaya dalam menciptakan pupuk organik untuk diaplikasikan ke setiap jenis tanaman.

Rina sangat bersyukur dengan adanya pengetahuan pembuatan pupuk organik. Sejak mengikuti kegiatan SLP, Rina dilatih untuk dapat membuat pupuk sendiri dan mampu memanfaatkan SDA yang ada di sekitar pekarangan rumahnya.

“Sekarang kami sudah bisa membuat pupuk sendiri, dari bahan-bahan yang bisa didapat di dalam kampung sendiri. Sekarang tidak harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk membeli pupuk dari kota lagi,” kata Rina membagi pengalamannya dalam mengikuti seri pembelajaran SLP di kampungnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top